Jepara Kota Ukir

Jepara Kota Ukir

Asal-usul Nama Jepara

Dikutip dari laman resmi PPID Kabupaten Jepara, asal nama Jepara berasal dari kata Ujung Para yang kemudian berubah menjadi Ujung Mara dan Jumpara yang kemudian menjadi Jepara Kata Jepara sendiri memiliki arti sebagai sebuah tempat pemukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai daerah.

Kata ujung para terdiri dari dua kata yakni ujung dan para, ujung dalam kamus bahasa Indonesia memiliki arti bagian darat yang menjorok (jauh) ke laut, sedangkan para memiliki arti menunjukan arah. Sehingga ujungpara sendiri jika digabungkan memiliki arti sebagai suatu daerah yang letaknya menjorok ke laut.

Ukiran Jepara adalah seni ukir yang berasal dari daerah Jepara, sebuah kota di provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Seni ukir ini telah ada sejak zaman kerajaan Jepara pada abad ke-15. Ukiran Jepara terkenal karena keindahan dan kehalusan tatahannya yang khas. Ukiran Jepara umumnya menggunakan kayu jati sebagai bahan utama. Kayu jati dipilih karena kekuatannya dan kemampuan untuk menghasilkan detail yang rumit dalam ukiran. Ukiran Jepara juga menggunakan berbagai teknik ukir, seperti ukiran tinggi (relief) dan ukiran rendah (hiasan permukaan). Motif-motif yang sering ditemukan dalam ukiran Jepara mencakup flora dan fauna lokal, serta motif-motif geometris dan motif-motif islam. Motif flora dan fauna sering kali menggambarkan daun, bunga, burung, atau hewan-hewan seperti kuda, singa, atau naga. Motif geometris sering kali terinspirasi dari pola-pola islamik seperti bintang, lingkaran, dan segi empat. Proses pembuatan ukiran Jepara melibatkan beberapa tahap. Pertama, seorang pengukir biasanya merancang desain ukiran di atas kayu dengan menggunakan pensil atau alat lainnya. Setelah itu, mereka akan mulai memahat kayu dengan menggunakan pahat, gergaji, dan berbagai alat ukir lainnya. Tahap ini membutuhkan ketelitian tinggi dan keahlian yang mendalam untuk menciptakan detail yang halus dan akurat. Setelah ukiran selesai dipahat, langkah selanjutnya adalah menghaluskannya dengan menggunakan amplas dan bahan-bahan lain untuk mencapai kehalusan permukaan yang diinginkan. Terakhir, ukiran tersebut dapat diwarnai atau diberi lapisan pelindung seperti lilin atau vernis untuk meningkatkan keindahannya dan melindungi kayu dari kerusakan. Ukiran Jepara tidak hanya diaplikasikan pada perabot rumah tangga seperti meja, kursi, atau lemari, tetapi juga dapat ditemukan dalam seni arsitektur seperti pintu, jendela, atau hiasan dinding. Keahlian para pengukir Jepara telah diakui di tingkat nasional maupun internasional, sehingga ukiran Jepara menjadi bagian penting dari warisan budaya Indonesia. Ukiran asli Jepara juga terlihat dari motif Jumbai atau ujung relung dimana daunnya seperti kipas yang sedang terbuka yang pada ujung daun tersebut meruncing. Selain itu juga ada buah tiga atau empat biji keluar dari pangkal daun.Selain itu,tangkai relungnya memutar dengan gaya memenjang dan menjalar membentuk cabang-cabang kecil yang mengisi ruang atau memperindah. Salah satu ciri khas yang terkandung didalamnya adalah bentuk corak dan motif.Untuk motif sendiri bisa kita lihat dari : Daun Trubusan yang terdiri dari dua macam yaitu dilihat dari yang keluar dari tangkai relung dan yang keluar dari cabang atau ruasnya.

Belanja di App banyak untungnya:

Kota Jepara di Jawa Tengah. (Instagram @visitjepara)

MENGULIK alasan mengapa Jepara disebut Kota Ukir. Kabupaten Jepara yang terletak di ujung utara Jawa Tengah memiliki keindahan alam luar biasa. Masyarakat Jepara sangat kreatif. Mereka jago dalam membuat seni ukir kayu.

Hasil atau karya ukir kayu masyarakat Jepara bukan hanya dikenal di Indonesia, tapi juga sampai mancanegara.

Mengutip dari laman Indonesia.go.id, keahlian ukir masyarakat Jepara rupanya telah melegenda sejak zaman Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit yang diceritakan secara turun temurun.

Saking kuatnya legenda tersebut, membuat masyarakatnya yakin jika kota ini terkenal akan ukirannya dan para pengukirnya begitu mahir membuat karya seni tiga dimensi ini.

Konon seorang pelukis dan pengukir yang handal bernama Prabangkara, dipanggil oleh Raja Brawijaya untuk melukis istrinya dalam keadaan tanpa busana sebagai wujud cinta sang raja. Sebagai pelukis, ia pun menuruti perintah sang Raja melalui imajinasinya tanpa boleh melihat permaisuri dalam keadaan tanpa busana.

Sebagai ahli, Prabangkara melakukan tugasnya dengan sempurna hingga kotoran seekor cicak jatuh mengenai lukisan itu sehingga lukisan permaisuri mempunyai tahi lalat.

Raja yang mulanya sangat puas menjadi marah dan menuduhnya melihat permaisuri tanpa busana karena lokasi tahi lalatnya persis dengan kenyataannya.

Prabangkara pun dihukum dengan diikat di layang-layang, diterbangkan, dan jatuh di Belakang Gunung yang kini bernama Mulyoharjo. Ia kemudian mengajarkan ilmu ukir kepada warga Jepara dan kemahiran ukir tersebut bertahan hingga sekarang.

Ukiran Jepara sejatinya telah ada sejak zaman pemerintahan Ratu Kalinyamat pada 1549. Anak perempuan Ratu yang bernama Retno Kencono memiliki peranan yang besar bagi perkembangan seni ukir.

Kala itu, kesenian ukir berkembang dengan sangat pesat ditambah dengan adanya seorang menteri bernama Sungging Badar Duwung yang berasal dari Champa dan sangat ahli dalam seni ukir. Sementara untuk wilayah Belakang Gunung diceritakan terdapat sekelompok pengukir yang bertugas untuk melayani kebutuhan ukir keluarga kerajaan.

Kelompok ini diketahui memiliki perkembangan yang begitu pesat hingga menyebar ke desa-desa tetangga. Namun, sepeninggal Ratu Kalinyamat, perkembangan mereka terhenti dan baru berkembang kemudian di era Kartini, pahlawan wanita yang lahir di Jepara.

Peranan Raden Ajeng Kartini dalam pengembangan seni ukir juga terbilang sangat besar. Ia melihat kehidupan para pengrajin ukir yang tak beranjak dari kemiskinan membuatnya terusik.

Kartini pun memanggil beberapa pengrajin dari daerah Belakang Gunung untuk bersama-sama membuat ukiran seperti peti jahitan, meja kecil, figura, tempat perhiasan, dan barang cinderamata lainnya.

Hasil karya itu dijual oleh Raden Ajeng Kartini ke Semarang dan Batavia (sekarang Jakarta), sehingga diketahui kualitas karya seni ukir dari Jepara ini.

Tak sekedar di kawasan itu, Raden Ajeng Kartini juga mulai memperkenalkan karya seni ukir Jepara ke luar negeri dengan memberikan berbagai cinderamata kepada teman-temannya di luar negeri.

Itulah alasan mengapa Jepara disebut sebagai Kota Ukir.

Jepara, sebuah kota yang terletak di pesisir utara Jawa Tengah, Indonesia, memiliki kekayaan sejarah dan keunikan budaya. Asal-usul Jepara dapat ditelusuri hingga zaman kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara, di mana daerah ini telah menjadi pusat perdagangan dan peradaban maritim.

Adapun yang membuat Jepara benar-benar dikenal di seluruh dunia adalah julukannya sebagai 'kota ukir dunia'. Gelar ini tidak diberikan secara sembarangan, melainkan tercermin dari warisan seni ukir kayu yang membanggakan, yang telah menjadi ciri khas kota ini.

Jepara menyimpan sejarah panjang hingga kota tersebut mendapat julukan sebagai kota ukir berkelas dunia. Berikut ini penjelasan sejarah dan asal-usul Jepara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ciri Khas Ukiran Jepara

Ukiran Jepara memiliki ciri khas yang menunjukkan bahwa ukiran itu berasal dari Jepara yaitu dari motifnya. Motif yang sangat terkenal dari ukiran daerah ini adalah Daun Trubusan yang terdiri dari dua macam. Pertama, daun yang keluar dari tangkai relung. Kedua, daun yang keluar dari cabang atau ruasnya.

Ukiran Jepara juga terlihat dari motif Jumbai dimana daunnya akan terbuka seperti kipas lalu ujungnya meruncing. Dan juga ada tiga atau empat biji keluar dari pangkal daun. Selain itu, salah satu ciri khasnya adalah tangkai relung yang memutar dengan gaya memanjang dan menjalar membentuk cabang-cabang kecil untuk mengisi ruang dan memperindahnya. Ciri-ciri khas ini sudah cukup mewakili identitas ukiran Jepara.

Artikel ini ditulis oleh Marcella Rika Nathasya Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.

Sejak abad ke-19 daerah Jepara telah dikenal luas sebagai daerah yang memproduksi mebel dan ukiran yang terkenal di Indonesia. Terbukti dengan adanya penghargaan dari beberapa kalangan baik dalam dan luar negeri dan menyatakan Jepara sebagai sebuah kawasan terpadu penghasil mebel dan ukiran.

Di kota Jepara, kegiatan mengukir dan memahat untuk menghasilkan mebel dan karya seni ukiran telah menjadi bagian dari budaya, seni, ekonomi, sosial dan politik yang telah lama terbentuk dan sukar untuk dipisahkan dari akar sejarahnya.

Mebel dan ukir Jepara memiliki sejarah yang cukup panjang karena kemampuan bertukang dan mengukir diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya. Kebiasaan ini pun seakan terasah dan berkembang mengikuti perkembangangan zaman yang semakin maju, namun jiwa seni dan ketrampilan yang dimiliki oleh para pengrajin ini seakan tertanam dengan kuatnya.

Akan tetapi, saat zaman berubah, kemampuan yang dulu bersifat otodidak sekarang dikembangkan seiring dengan peningkatan jumlah peminat dari dalam dan luar daerah bahkan luar negeri. Berbagai Lembaga Pendidikan telah didirikan untuk memberi pelatihan Teknik mebel, ukir, dan desain yang semakin berkembang tanpa meninggalkan ciri khas kekayaan seni lokal daerah itu sendiri.

Legenda Turun Temurun

Legenda tentang pengukir dan pelukis dari zaman Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit diceritakan secara turun temurun di kota Jepara. Saking kuatnya legenda itu ditanamkan, sehingga orang mempercayainya sebagai sejarah awal kenapa kota ini begitu terkenal dengan ukirannya dan para pengerjanya begitu mahir menciptakan karya seni ini.

Konon dahulu kala Prabangkara, ahli lukis dan ukir itu, dipanggil oleh Raja Brawijaya untuk melukis isterinya dalam keadaan tanpa busana sebagai wujud cinta sang raja. Sebagai pelukis, ia harus melukis melalui imajinasinya tanpa boleh melihat permaisuri dalam keadaan tanpa busana.

Prabangkara melakukan tugasnya dengan sempurna sampai kotoran seekor cecak jatuh mengenai lukisan itu sehingga lukisan permaisuri mempunyai tahi lalat. Raja sangat puas dengan hasil karya Prabangkara namun begitu melihat tahi lalat tersebut, maka marahlah sang raja dan menuduh Prabangkara melihat permaisuri tanpa busana karena lokasi tahi lalatnya persis dengan kenyataannya.

Prabangkara pun dihukum dengan diikat di layang-layang, diterbangkan, dan kemudian jatuh di Belakang Gunung yang kini bernama Mulyoharjo. Prabangkara kemudian mengajarkan ilmu ukir kepada warga Jepara dan kemahiran ukir warga Jepara bertahan hingga sekarang.

Ukiran Jepara sudah ada sejak zamannya pemerintahan Ratu Kalinyamat sekitar tahun 1549. Anak perempuan Ratu bernama Retno Kencono mempunyai peranan yang besar bagi perkembangan seni ukir. Di zaman ini kesenian ukir berkembang dengan sangat pesat ditambah dengan adanya seorang menteri bernama Sungging Badarduwung yang berasal dari Campa dan sangat ahli dalam seni ukir. Sementara daerah Belakang Gunung diceritakan terdapat sekelompok pengukir yang bertugas untuk melayani kebutuhan ukir keluarga kerajaan.

Semakin hari kelompok ini berkembang menjadi semakin banyak karena desa-desa tetangga mereka pun ikut belajar mengukir. Namun, sepeninggal Ratu Kali Nyamat, perkembangan mereka terhenti kalau bukan dibilang stagnan dan baru berkembang kemudian di era Kartini, pahlawan wanita yang lahir di Jepara.

Peranan Raden Ajeg Kartini dalam pengembangan seni ukir sangat besar. Ia melihat kehidupan para pengrajin ukir yang tidak beranjak dari kemiskinan dan hal ini sangat mengusik batinnya. Ia kemudian memanggil beberapa pengrajin dari dearah Belakang Gunung  untuk bersama-sama membuat ukiran seperti peti jahitan, meja kecil, figura, tempat perhiasan, dan barang cindera mata lainnya, yang kemudian dijual oleh Raden Ajeng Kartini ke Semarang dan Batavia (sekarang Jakarta), sehingga akhirnya diketahuilah kualitas karya seni ukir dari Jepara ini.

Pesanan pun banyak berdatangan dan hasil produksi pengrajin seni ukir Jepara pun bertambah jenisnya. Sementara itu, Raden Ajeng Kartini pun mulai memperkenalkan karya seni ukir Jepara ke luar negeri dengan memberikan berbagai cindera mata kepada teman-temannya di luar negeri. Seluruh penjualan barang ini setelah dikurangi oleh biaya produksi, uangnya diserahkan secara utuh kepada para pengrajin yang mana dapat menaikkan taraf hidup mereka yang berkecimpung di bidang ini.

Ciri Khas Ukiran Jepara

Ukiran Jepara memiliki ciri khas yang menunjukkan bahwa ukiran itu berasal dari Jepara atau bukan melalui corak dan motifnya. Motif yang sangat terkenal dari ukiran daerah ini adalah Daun Trubusan yang terdiri dari dua macam. Pertama, daun yang keluar dari tangkai relung. Kedua, daun yang keluar dari cabang atau ruasnya.

Ukiran Jepara juga terlihat dari motif Jumbai dimana daunnya akan terbuka seperti kipas lalu ujungnya meruncing. Dan juga ada tiga atau empat biji keluar dari pangkal daun. Selain itu, salah satu ciri khasnya adalah tangkai relung yang memutar dengan gaya memanjang dan menjalar membentuk cabang-cabang kecil untuk mengisi ruang dan memperindahnya. Ciri-ciri khas ini sudah cukup mewakili identitas ukiran Jepara.

Ukiran Jepara mempunyai ciri khas bersifat akomodatif untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan dalam lingkungan hidup di masyarakat umum. Hal ini menjadi sangat penting karena masyarakat Jawa mengutamakan keselarasan dalam kehidupannya sehari-hari. Seni ukiran Jepara juga menjadi medium untuk menunjukkan sebuah sikap dan kepribadian, contohnya: ukiran di daerah pesisir sifatnya terlihat lebih terbuka.

Ukiran Jepara berupa mebel dan senir ukir lainnya sudah tidak diragukan lagi kualitasnya baik di dalam maupun di luar negeri. Selain menggunakan material bermutu tinggi seperti kayu jati dan jenis kayu-kayu lain yang sudah terbukti kualitasnya.

Ukiran Jepara berbahan kayu jati, bisa bertahan dengan baik hingga lebih dari 20 tahun lamanya. Selain itu, kayu jati mempunyai tekstur yang halus, serat yang lebih tajam, serta warna yang lebih seragam dibanding jenis kayu-kayu lainnya. Meskipun harga mebel Jepara relatif lebih mahal tapi dengan kualitas yang tinggi dan berkelas, maka harganya pun sebanding dengan nilai seninya yang tinggi.

Tantangan terbesar dari produk ukiran berbahan kayu adalah tingkat ketahanannya terhadap air dan serangan rayap atau ngengat. Satu hal yang menjadikan kualitas ukiran Jepara menjadi salah satu yang terbaik adalah kandungan minyak alami yang membuat produk ukiran Jepara seperti mebel atau furniture tahan air dan serangan rayap.

Dan, hal yang terpenting di samping mutu yang baik, kualitas ukiran Jepara memiliki permukaan yang rata dan tidak bergelombang pada mebel atau furnitur sebagai hasil produksinya. Hal ini akan memberikan kesan mewah pada ruangan dan menjadikannya cocok untuk semua gaya dekorasi apakah itu sentuhan minimalis, klasik atau neo-klasik modern, ukiran Jepara akan tetap terlihat anggun sebagai satu sentuhan bergaya tradisional yang mengesankan. (K-SB)

Sejarah Jepara Dijuluki Kota Ukir Berkelas Dunia

Kota Jepara dijuluki sebagai The World Carving Center atau kota ukir dunia. Julukan tersebut dilatarbelakangi Sejak abad ke-19, Jepara telah dikenal sebagai salah satu daerah pusat penghasil kerajinan ukiran kayu dan mebel terbesar di Indonesia bahkan telah dikenal hingga mancanegara.

Karya seni ukir kayu sudah menjadi bagian dari budaya, seni, dan ekonomi masyarakat Jepara sejak dulu yang diturunkan dari generasi ke generasi seiring perkembangan zaman. Pada saat ini, Kota Jepara menjadi salah satu daerah penghasil kerajinan ukiran kayu terbesar di Indonesia, bahkan produk kerajinan kayunya telah di ekspor ke berbagai negara di dunia.

Lantas, bagaimana sejarah jepara dijuluki kota ukir berkelas dunia ?

Mengutip dari laman resmi Indonesia.go.id, sejarah kota Jepara mendapat julukan kota ukir karena dahulu kala Prabangkara, ahli lukis dan ukir itu, dipanggil oleh Raja Brawijaya untuk melukis istrinya dalam keadaan tanpa busana sebagai wujud cinta sang raja. Sebagai pelukis, ia harus melukis melalui imajinasinya tanpa boleh melihat permaisuri dalam keadaan tanpa busana.

Prabangkara melakukan tugasnya dengan sempurna sampai kotoran seekor cicak jatuh mengenai lukisan itu sehingga lukisan permaisuri mempunyai tahi lalat. Raja sangat puas dengan hasil karya Prabangkara namun begitu melihat tahi lalat tersebut, maka marahlah sang raja dan menuduh Prabangkara melihat permaisuri tanpa busana karena lokasi tahi lalatnya persis dengan kenyataannya.

Prabangkara pun dihukum dengan diikat di layang-layang, diterbangkan, dan kemudian jatuh di belakang gunung yang kini bernama Mulyoharjo. Prabangkara kemudian mengajarkan ilmu ukir kepada warga Jepara dan kemahiran ukir warga Jepara bertahan hingga sekarang.

Ukiran Jepara sudah ada sejak zaman pemerintahan Ratu Kalinyamat sekitar tahun 1549. Anak perempuan ratu bernama Retno Kencono mempunyai peranan yang besar bagi perkembangan seni ukir. Di zaman ini kesenian ukir berkembang dengan sangat pesat ditambah dengan adanya seorang menteri bernama Sungging Badarduwung yang berasal dari Campa dan sangat ahli dalam seni ukir. Sementara daerah belakang Gunung diceritakan terdapat sekelompok pengukir yang bertugas untuk melayani kebutuhan ukir keluarga kerajaan.

Semakin hari kelompok ini berkembang menjadi semakin banyak karena desa-desa tetangga mereka pun ikut belajar mengukir. Namun, sepeninggal Ratu Kalinyamat, perkembangan mereka terhenti dan baru berkembang kemudian di era Kartini, pahlawan wanita yang lahir di Jepara.

Peranan Raden Ajeng Kartini dalam pengembangan seni ukir sangat besar. Ia melihat kehidupan para pengrajin ukir yang tidak beranjak dari kemiskinan dan hal ini sangat mengusik batinnya. Ia kemudian memanggil beberapa pengrajin dari daerah belakang Gunung untuk bersama-sama membuat ukiran seperti peti jahitan, meja kecil, figura, tempat perhiasan, dan barang cinderamata lainnya, yang kemudian dijual oleh Raden Ajeng Kartini ke Semarang dan Batavia (sekarang Jakarta), sehingga akhirnya diketahuilah kualitas karya seni ukir dari Jepara ini.

Pesanan pun banyak berdatangan dan hasil produksi pengrajin seni ukir Jepara pun bertambah jenisnya. Sementara itu, Raden Ajeng Kartini pun mulai memperkenalkan karya seni ukir Jepara ke luar negeri dengan memberikan berbagai cinderamata kepada teman-temannya di luar negeri. Seluruh penjualan barang ini setelah dikurangi oleh biaya produksi, uangnya diserahkan secara utuh kepada para pengrajin yang mana dapat menaikkan taraf hidup mereka yang berkecimpung di bidang ini.