Anak Sultan Agung
Untuk mendapatkan kontrakan Sultan Agung, Semarang sesuai keinginan, gunakan fitur pencarian dan filter yang tersedia. Anda dapat memilih fasilitas dan harga kontrakan yang diinginkan dengan mudah.
Untuk mendapatkan kontrakan Sultan Agung, Semarang sesuai keinginan, gunakan fitur pencarian dan filter yang tersedia. Anda dapat memilih fasilitas dan harga kontrakan yang diinginkan dengan mudah.
1. Kode : GKO-364 2. Dhapur : Jangkung Kalanadah? 3. Pamor : Triman? 4. Tangguh : Mataram Sultan Agung (Abad XVI) 5. Sertifikasi Museum Pusaka No : opsional 6. Asal-usul Pusaka : Jakarta 7. Dimensi : panjang bilah 33 cm, panjang pesi 7,5 cm, panjang total 40,5 cm 8. Keterangan Lain : ukiran tayuman motif puteri kinurung
TENTANG DHAPUR, jika kita membuka buku dhapur damartaji, ensiklopedi keris, tabel ricikan yang ada di Buku Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar, hingga Kawruh Empu (Wirapustaka, 1914) sekalipun, memang tidak ditemukan nama dhapur pasti dari keris luk tiga ber-gandik lugas dengan memakai sogokan satu yang panjang di depan. Salah satu referensi penunjuk yang mungkin mendekati didapatkan di Buku Primbon Pusoko Jawi yang ditulis tangan oleh Madi Ronggo Widjojo Moeljo (1985). Digambarkan jika keris ini mendekati bentuk dhapur Jangkung Kalanadah.
FILOSOFI, Keris berlekuk tiga oleh masyarakat perkerisan dinamakan keris ‘Jangkung’. Kata Jangkung berarti menuntun, melindungi, mengawasi, dan menjaga dari kejauhan. Keris berlekuk tiga (Jangkung) mengandung arti agar dalam hidupnya manusia untuk selalu “eling” memohon dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Esa agar hidupnya jinangkung-jinampangan dening Allah (dilindungi dan diberkati oleh Yang Maha Kuasa).
Angka 3 juga merupakan angka ganjil yang mencerminkan keseimbangan. Angka 3 adanya manusia yang selalu mempunyai sifat tiga perkara hidup. Misalnya; Ada 3 hal dalam hidup yang tidak bisa kembali, yakni waktu, ucapan dan kesempatan, maka hendaknya dijaga supaya tidak ada sesal kemudian. Ada 3 hal yang tidak pernah kita tahu, yakni rejeki, umur dan jodoh, mintalah pada Tuhan, dan terakhir ada 3 hal dalam hidup yang pasti, adalah tua, sakit dan mati, maka persiapkanlah dengan sebaik-baiknya.
“Kala” adalah dasanama kawi untuk buta, asura, ditya, diyu, wisaca, wil, yaksa, gandarwa, banasa, yang artinya sama yakni makhluk golongan raksasa. Buta sering disebut bersamaan dengan Kala, karena itu kita mengenal istilah Buta Kala. Kala artinya hitam-biru (hitam kebiru-biruan, nama lain dari Durga Kali). Sedangkan “Nadhah” dalam bahasa Kawi artinya adalah: makan, meminta.
Nusantara merupakan bangsa yang kaya akan cerita mitologi, ada berbagai legenda mengenai terjadinya sebuah gerhana melalui hikayat negeri ini yang diwariskan dari generasi ke generasi terutama di Jawa dan Bali. Sebagian masyarakat Jawa dan Bali percaya jika gerhana bukan sekadar fenomena alam. Gerhana terjadi lantaran ulah Buta Kala, dan menjadi ancaman bagi semesta termasuk umat manusia. Bumi gelap-gulita karena raksasa menakutkan itu menjadi biang keladi menelan matahari atau bulan. Buta Kala dikenal sebagai raksasa rakus yang gemar memakan manusia, dan membuat keonaran di muka bumi.
Batara Kala biasanya diwujudkan dalam bentuk raksasa yang hanya memiliki kepala hingga leher saja, sebagai akibat dari hukuman Dewa Wisnu yang menebas leher Kala dengan senjata cakra-nya karena ikut meminum tirta amerta (air abadi). Dikisahkan pula dalam mitologi Jawa, bagian leher ke bawah dari Batara Kala berubah menjadi lesung (tempat menumbuk padi). Maka, ketika terjadi gerhana, orang-orang beramai-ramai memukuli lesung untuk membuat kebisingan dengan berbagai cara, seperti memukul kentongan, peralatan dapur, dan sejenisnya agar Kala memuntahkan matahari atau bulan yang dimakannya. Matahari atau bulan yang ditelan Buta Kala akan keluar lagi melalui leher bagian bawah yang sudah terpotong. Maka, peristiwa terjadinya sebuah gerhana jarang berlangsung lama.
Saat fenomena gerhana matahari ini terjadi semua wajib masuk ke dalam rumah, terutama wanita hamil dan anak-anak kecil demi menghindari murka sang Buta Kala. Di beberapa wilayah di Jawa, mitos ini masih dipegang teguh. Dalam kepercayaan orang Jawa zaman dulu, sawah atau lahan pertanian juga harus disirami air selama gerhana terjadi agar tidak rusak dan gagal panen. Jika punya kebun yang menghasilkan bahan pangan, seperti pohon-pohon buah, harus dipukul-pukul batangnya supaya selamat dari terjangan murka Batara Kala. Hewan-hewan ternak juga harus dijaga jangan sampai tertidur selama gerhana berlangsung dengan cara dicambuk-cambuk pelan dengan dahan pohon. Jika tidak, hewan-hewan yang merupakan raja kaya itu terancam mati setelah gerhana usai. Selain itu, selama langit gelap karena gerhana, setiap orang wajib terus terjaga, tidak boleh tidur. Kearifan local Ini sebenarnya mengacu kepada ungkapan Jawa yakni: ‘sopo sing leno bakale keno’ (siapapun yang terlena pasti terkena), sehingga ‘kudu eling lan waspodo’.
Dua buah kata yang berisi pesan-pesan mendalam dan dianggap sakral. Namun tidak setiap orang mengerti secara jelas apa yang dimaksud kedua istilah tersebut. Sebagian yang lain hanya sekedar tahu saja namun kurang memahami makna yang tepat dan tersirat di dalamnya. Eling lan waspodo terdiri dari dua kata yaitu eling yang artinya mengingat dan waspodo berarti hati-hati. Eling atau ingat, maksudnya adalah agar manusia selalu ingat pada tiga hal yaitu dari mana dia diciptakan, apa tugasnya di dunia, dan ke mana dia akan dikembalikan. Sedangkan waspodo atau waspada maksudnya adalah agar kita sebagai manusia harus hati-hati dalam menjaga kemurnian beribadah dan menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi. Menjadi manusia yang eling lan wapodo, berarti kembali sadar dan ingat kepada ha-hal yang sifatnya inti atau sejati; waspada agar tidak tergoda terhadap segala sesuatu yang hanya indah dan gemerlap dari luarnya saja namun keropos di dalamnya.
TANGGUH MATARAM SULTAN AGUNG, kemajuan sangat besar dalam bidang perkerisan terjadi pada masa Mataram terutama pada masa Raja Mataram Sultan Agung Anyokrokusuma. Sultan Agung merupakan Raja Mataram yang paling terkenal dan dalam kekuasannya pembangunan di segala bidang mengalami kemajuan yang pesat. Bahkan Thomas Stamford Raflles mencatat, bahwa Sultan Agung digambarkan oleh orang Belanda sebagai raja yang sangat pandai dan memiliki pemikiran yang cerah. Meskipun naik tahta dalam usia yang relatif muda, yakni 22 tahun Sultan Agung ternyata bukan hanya berkemampuan memimpin pemerintahan dan kemiliteran, melainkan juga mahir dalam menangani masalah kebudayaan.
Pada masa pemerintahannya budaya keris mencapai puncak kejayaan. Pada zaman itu tercatat banyak nama empu terkenal. Para empu senior ini masing-masing diperintahkan membimbing puluhan empu lain sehinga jumlah empu yang menjadi anak buah mereka berjumlah 800 orang, yang kemudian dikenal dengan ‘empu pakelun‘, ini terjadi menjelang penyerangan ke Batavia. 800 orang empu yang tergabung dalam kelompok ‘empu pakelun‘ ini dipimpin oleh 9 empu jejeneng, yaitu empu Ki Nom, empu legi, empu Tepas,empu Luwing, empu Guling, empu Tundung, empu Anjir, empu Gede, dan empu Mayi.
Dalam buku Ensiklopedi Keris karangan Bambang Harsrinuksmo (2004) dijelaskan jika tangguh Mataram Sultan Agung: pasikutan-nya demes (serasi, menyenangkan, tampan, enak dilihat); besinya mentah, pamornya mubyar.
PAMOR TRIMAN, bentuknya mirip sekali atau boleh dikatakan sama dengan pamor Wos Wutah, tetapi hanya mengumpul pada bagian sor-sor an saja, kemudian pamor itu seolah “berhenti” seperti terpotong, atau putus pada setengah bilah dan kemudian tidak ada kelanjutannya lagi (kosong) di bagian atasnya. Konon pamor Triman lebih cocok dipakai oleh mereka yang sudah purna bakti/pensiun dan tidak lagi memikirkan masalah duniawi, karna diyakini banyak membantu dalam memberikan sugesti rasa tenang dan tentram dalam hati. Namun, bagi mereka yang masih aktif bekerja dinilai kurang cocok memilikinya, karena dipercaya dapat menurunkan ambisi dan semangat untuk maju. Baik juga dipakai untuk mengimbangi oleh mereka yang mempunyai pembawaan temperamental, berangasan, pemarah atau suka kalap.
Istilah “nrima” tentu sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Jawa, baik orang Jawa asli maupun pendatang yang menetap di Jawa. “Nrima” adalah dengan kesadaran spiritual-psikologis menerima segala sesuatu secara penuh terhadap berbagai kejadian di masa lalu, masa sekarang, dan segala kemungkinan di masa depan, tanpa merasa nggrundel (menggerutu karna kecewa di belakang). Apapun yang diterima dianggap sebagai karunia Tuhan YME. Pada kondisi ini, hanya watak lamun kelangan ora gegetun, trima mawi pasrah. Yang artinya, dalam hal apa saja mereka terima dengan kesungguhan dan keikhlasan hati.
Idealnya, sebelum seseorang berada dalam tahap nrima, ada sebentuk usaha atau ikhtiar yang harus dilakukan tersebih dahulu baru kemudian berserah kepada Sang Pencipta. Sebab usaha merupakan jembatan nasib. Komponen ikhtiar atau usaha inilah yang sering terlewat ketika membicarakan nrima, seolah-olah orang yang nrima hanya pasrah saja menerima nasib tanpa berbuat apa-apa. Miskonsepsi ini seringkali menimbulkan kesan bahwa orang Jawa cenderung pasif ketika dihadapkan pada masalah, cobaan atau tantangan, sehingga acapkali faktor ini yang menjadi kambing hitam penyebab pudarnya motivasi untuk bekerja dan mematikan produktivitas.
Yang patut disadari adalah jika setiap manusia diberi anugerah oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Akan tetapi, antara manusia satu dengan manusia lainnya memiliki bagian yang tidak sama. Orang Jawa menyebutnya beda-beda pandumaning dumadi, sementara kesadaran akan perbedaan itu disebut nrima ing pandum. Sikap nrima ing pandum mengajarkan masyarakat Jawa agar tidak bertindak “nggege mangsa“, yang secara harfiah artinya mendahului waktu. Maksudnya adalah keterburuan yang melupakan kapasitas diri atau memaksakan diri melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkan kemampuan, kondisi, dan waktu. Masyarakat Jawa percaya bahwa jika Tuhan sudah menghendaki maka segalanya akan dimudahkan, begitu pula sebaliknya jika Tuhan belum menghendaki selalu ada rintangan yang menghalangi jalan manusia.
Pendek kata, melalui nrima dan usaha, maka kabegjan (keberuntungan) akan datang mengikuti dengan sendirinya. Sebab di balik itu masih ada pedoman ana dina ana upa, jika masih ada hari, rezeki tentu selalu ada.
UKIRAN PUTERI KINURUNG, Ukiran atau gagang keris. Orang di daerah Yogyakarta sering menyebutnya dengan deder, sedangkan orang Solo dan sekitarnya lebih sering menyebutnya dengan jejeran. Penulisan kata ukiran dalam huruf miring (italic) akan mempermudah untuk memahami bahwa yang dimaksud adalah pegangan keris, supaya tidak rancu pengertiannya dengan arti kata ‘ukiran’ dalam Bahasa Indonesia.
Pada ukiran puteri kinurung, sepintas bentuknya sama dengan jenis ukiran lainnya, tetapi selain pada bagian patran, pada bagian gigir (punggung belakang) hingga bungkul (bawah) dihias lagi dengan cecekan beraneka motif seperti tumbuhan hingga tambahan makara. Motif ukiran puteri kinurung, banyak digemari, terutama di daerah Yogyakarta. Sesuai dikenakan oleh mereka yang tergolong pesolek, biasanya jenis ukiran ini lebih mahal harganya dibandingkan ukiran biasa.
CATATAN GRIYOKULO, keris-keris mataram Sultan Agung memang memiliki daya hipnotis sendiri di mata, terutama dalam penampilannya yang demes, menyenangkan enak dilihat, terlebih diperindah dengan pola pamor yang byor.
Sebenarnya keris ini sudah pernah diberikan keterangan mengenai dhapur, pamor dan tangguhnya oleh Museum Pusaka TMII, namun sudah lama ketika masih menggunakan sandangan lamanya. Saat ini keris Jangkung ini sudah macak tampil lebih miyayeni menggunakan warangka barunya kayu timoho dan ukiran tayuman puteri kinurung.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : [email protected]
Wir verwenden Cookies und Daten, um
Wenn Sie „Alle akzeptieren“ auswählen, verwenden wir Cookies und Daten auch, um
Wenn Sie „Alle ablehnen“ auswählen, verwenden wir Cookies nicht für diese zusätzlichen Zwecke.
Nicht personalisierte Inhalte und Werbung werden u. a. von Inhalten, die Sie sich gerade ansehen, und Ihrem Standort beeinflusst (welche Werbung Sie sehen, basiert auf Ihrem ungefähren Standort). Personalisierte Inhalte und Werbung können auch Videoempfehlungen, eine individuelle YouTube-Startseite und individuelle Werbung enthalten, die auf früheren Aktivitäten wie auf YouTube angesehenen Videos und Suchanfragen auf YouTube beruhen. Sofern relevant, verwenden wir Cookies und Daten außerdem, um Inhalte und Werbung altersgerecht zu gestalten.
Wählen Sie „Weitere Optionen“ aus, um sich zusätzliche Informationen anzusehen, einschließlich Details zum Verwalten Ihrer Datenschutzeinstellungen. Sie können auch jederzeit g.co/privacytools besuchen.
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.